Jumat, 07 Maret 2008

BARU PINGIN MIKIR

IRM KU IRM MU IRM KITA SEMUA

Oleh : Muhammad Arif Hidayatulloh

Ikatan Remaja Muhammadiyah atau yang disebut IRM, tentunya kata – kata ini tidak asing ditelinga kita. Itulah organisasi yang saat ini kita berkiprah didalamnya, organisasi yang kita ketahui sama seperti osis di sekolah negeri dan organisasi yang katanya milik Muhammadiyah.

Inilah IRM, organisasi ini sebelumnya bernama IPM, organisasi ini berubah nama bukan karena sakit–sakitan atau terlalu berat dengan namanya seperti filosofi orang Jawa, tapi perubahan ini menurut buku saku anggota IRM terjadi karena ada tekanan dari pihak pemerintah, yaitu ketika pemerintah melarang organisasi yang berbau pelajar melakukan aktivitasnya. Organisasi yang berbau pelajar tersebut diwajibkan untuk membubarkan diri, atau berubah nama, kalau tidak taat akan dibubarkan secara paksa oleh pemerintah. Peraturan diatas membuat IPM “takut”, jika membubarkan diri bagaimana nasib anggota IPM yang jumlahnya ribuan dan tersebar di seluruh Indonesia, kalau tidak membubarkan maka IPM akan dibubarkan secar paksa oleh pemerintah, akhirnya IPM menempuh pilihan politis, yaitu mengubah nama menjadi IRM, hal ini dilakukan untuk menyelamatkan organisasi dan anggotanya. Akhirnya resmi tanggal 18 November 1992, setelah sebelumnya berdiri pada tahun 1961 tanggal 18 Juli.

50 tahun itulah umur Muhammadiyah ketika IPM berdiri, dengan umur yang begitu tua Muhammadiyah sudah tersebar diseluruh penjuru dan pelosok Indonesia, bahkan sudah dikenal diluar Indonesia. Dalam setengah abad ini tentunya Muhammadiyah sudah banyak berkiprah bagi bangsa Indonesia. Salah satu kontribusi yang real adalah dengan didirikannya lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan ini sudah menyebar keseluruh Indonesia, dapat dipastikan setiap daerah di Indonesia mempunyai lembaga pendidikan Muhammadiyah dalam tulisan ini yang dimaksud adalah tingkat menengah dan atas.

Makin lama lembaga pendidikan Muhammadiyah yang selanjutnya disebut sekolah Muhammadiyah semakin banyak dan berdiri hampir diseluruh pojok daerah di Indonesia. Rupanya hal ini ditangkap oleh Pimpinan Pusa Pemuda Muhammadiyah sebagai sebuah masalah, artinya banyak sekali sekolah Muhammadiyah tetapi tidak ada organisasi yang secara rapi mengayomi dan ikut dalam pembinaan anak didik.

Sebagai tindak lanjut dari pengamatan diatas, maka dalam kenferensinya Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah memberi rekomendasi kepada Muhammadiyah untuk membentuk organisasi pelajar bagi pelajar sekolah Muhammadiyah

Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang menyebarkan ide-idenya salah satunya melalui sekolah-sekolah memerlukan sebuah organisasi yang dapat mengayomi para pelajar yang belajar di sekolah Muhammadiyah. Selain itu pelajar yang selama ini dijadikan golongan kedua – dibuktikan hampir setiap kebijakan pemerintah ataupun sekolah pelajar selalu dijadikan objek, jarang ditemui pelajar yang ikut berpartisipasi dalam berbagai kebijakan tersebut – memerlukan organisasi yang dapat memperjuangkan hak-haknya sebagai pelajar. Maka tepatlah jika IRM yang dulunya IPM menjadikan pelajar sebagai basis massanya.

Akan tetapi dalam perjalanannya IRM atau IPM dapat dikatakan “kewalahan” untuk melakukan hal tersebut, mulai dari pengayoman pelajar, memperjuangkan hak-hak pelajar dan yang lainnya (terkhusus bagi pelajar Muhammadiyah). Sebagai contoh apa yang IRM lakukan ketika harga BBM naik. Padahal kita lihat secara real hampir setiap pelajar di Indonesia menggunakan kendaraan untuk berangkat kesekolah. Ketika harga BBM naik maka ongkos bis akan naik tentu ini sangat memberatkan, juga bagi mereka yang memiliki kendaraan bermotor harus menambah porsi keuangan hanya untuk bensin.

Juga ketika kurikulum pendidikan diobok-obok sedemikian rupa oleh pemerintah. Mulai dari kurikulum CBSA, Kurikulum berbasis kompentensi, sampai sekarang berubah lagi menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan atau yang sering disebut KTSP. Memang hal ini mengidentifikasikan dinamisasi pendidikan Indonesia, akan tetapi ini juga menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam merumuskan kurikulum. Belum lima tahun kurikulum berbasis kompetensi diluncurkan sudah berganti lagi. Akibatnya terjadi kebingungan pada tingkatan bawah terutama guru, mereka baru beradaptasi dengan satu kurikulum, harus berubah lagi. Kebingungan guru jelas berimplikasi pada murid yang diajar. Ketika ada sebuah pepatah mengatakan “guru kencing berdiri murid kencing berlari”, kalau guru saja bingung, apa yang akan diperbuat oleh pelajar, apalagi kesadaran pelajar untuk mencari ilmu belum tumbuh. Selain itu, buku yang berubah-ubah dengan biaya buku yang mahal, media belajar yang bertambah yang membuat biaya SPP membumbung tinggi – karena hampir seluruh sekolah di Muhammadiyah dan sekolah swasta lainnya bahkan negeri menggantungkan fasilitas belajar dari SPP – membuat sekolah terkesan “mengerikan” dan hanya bisa diakses oleh paranormal yang punya uang normal. Sekali lagi dipertanyakan dimana IRM?

Masih banyak permasalahan pelajar yang sampai saat ini organisasi-organisasi pelajar belum mampu untuk menjawab semua itu. KAPMI dengan politisnya membina pelajar hanya untuk menambah suara dalam pemilu, PII dengan keradikalannya membuat sebagian orang enggan untuk mendekatinya, dan IRM dengan birokratisnya membuat pelajar kurang nyaman.

Tidak berbeda dengan IRM diseluruh Indonesia Pimpinan Daerah Ikatan Remaja Muhammadiyah Kota Yogyakarta pun mempunyai tugas yang sama. Sayangnya PD IRM juga mengalami “kewalahan” dalam menjalankan tanggungjawab tersebut. Banyak isu-isu yang kurang direspon oleh IRM, banyak permasalahan yang hanya sampai pada rapat tanpa ada aplikasi yang real pada tataran bawah. Banyak konsep yang ditelurkan melalui program kerja, tapi belum bisa menyentuh kebutuhan ranting.

Sebenarnya jika ditinjau secara objektif, PD IRM Kota Yogyakarta mempunyai banyak potensi yang bisa dijadikan senjata untuk melakukan penyadaran, pendampingan, dan pemberdayaan terhadap pelajar. Banyaknya sekolah Muhammadiyah di kota ini dengan kenakeragaman siswanya yang berasal dari penjuru Indonesia menjadi modal untuk bergrerak. Jika dianalogikan ketika peperangan hal yang pertama dipenuhi adalah prajurit yang banyak. IRM Kota Yogyakarta sudah mendapatkan itu.

Hal diatas mempunyai konsekwensi logis terhadap finansial organisasi. Mengapa demikian dengan banyaknya basis maka banyak pula anggota yang iuran, dan dana tersebut rutin setiap tahun. Memang dana tersebut tidak bisa diandalkan untuk membiayai seluruh program PD, akan tetapi dana tersebut dapat dijadikan modal awal bagi perjuangan IRM. Dengan dua modal diatas semakin lengkaplah infrastruktur PD IRM Kota Jogja. Setelah pasukan yang representatif, ditambah dana yang memadai merupakan potensi besar bagi PD Kota Jogjakarta untuk melakukan dinamisasi gerakan

Selain kedua hal ditas letak geografis kota Yogyakarta yang datar dengan wilayahnya yang kecil disertai infrastruktur negara yang memadai membuat komunikasi dan koordiansi sebenarnya bisa berjalan dengan lancar. Bagaimana tidak kendaraan bertenaga manusia, hewan, bahkan mesin tersedia disini, selain itu perkembangan teknologi yang sangat pesat juga mendukung berjalannya komunikasi antar pimpinan. Berbeda jika dibandingkan dengan daerah lain diluar Kota Yogyakarta, wilayah yang luas dengan lahan berbukit, ditambah dengan transportasi yang susah menjadi makanan sehari-hari. Disinilah sebenarnya kekuatan PD IRM Kota Yogyakarta yaitu dalam hal intensitas konsolidasi.

Potensi – potensi diatas sebenarnya menjadi modal yang kuat bagi PD IRM Kota Yogyakarta untuk melaksanakan tugasnya sebagai representasi dari pelajar. Jika diibaratkan peperangan IRM telah mempunyai prajurit yang banyak, dana yang cukup, alat komunikasi yang canggih, senjata yang ampuh (berupa konsep-konsep advokasi, kritis, dls), dan strategi yang matang (gerakan sekolah kader, parlemen remaja dll).

Pertanyaan berikutnya, apakah para prajurit tersebut dapat menggunakan senjata dengan baik, dan memahami starategi yang digunakan. Jangan-jangan banyaknya prajurit justru tidak efektif untuk melaksanakan gerakan karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Gerakan justru menjadi kebesaran badan sehingga tidak bisa berlari kencang, hanya bisa mendengkur setiap saat.

Inilah yang harus dipikirkan selanjutnya. Mungkin selama ini IRM khususnya PD IRM Kota Yogyakarta “kewalahan” mengurusi kader, dan menjawab tantangan zaman, serta mengayomi pelajar, karena belum mampu melakukan proses internalisasi pada prajurit dengan konsep-konsep yang menjadi senjata IRM dan gerakan-gerakan yang menjadi strategi IRM. Jumlah prajurit memang banyak tapi jika mereka semua tidak mempunyi ilmu apalah gunannya.

Sebenarnya IRM sudah mempunyai alat untuk melakukan internalisasi nilai-niai, strategi, dan konsep. Alat tersebut sebenarnya sudah diketahui dan dilaksanakan oleh semua tingkatan struktur Pimpinan IRM. Alat itu adalah pelatihan kader taruna melati yang dimulai dari taruna melati satu sampai taruna melati utama. Pelatihan inilah yang menjadi gerbang awal untuk membina para prajurit untuk begaimana paham akan strategi dan dapat menggunakan senjata dengan proposional.

Sebenarnya pelatihan ini hampir setiap tahun diadakan, dengan berbagai konsep mulai yang mengalir tanpa alur sampai pada yang menjiplak dari cara pengkaderan oraganisasi lain. Tetapi pertanyaanya lagi mengapa sampai sekarang PD IRM masih “kewalahan” dalam mengurusi pelajar. Apakah pelatihannya yang salah ataupun yang lain?

Melihat hal tersebut penulis mencoba untuk mengusulkan sebuah strategi dalam pelaksanaan pelatihan ini. Ada tiga fase ketika bicara masalah pelatihan ini, yaitu pra, pas, dan pasca pelatihan.

Ada beberapa hal yang akan dibahas ketika bicara pra atau sebelum pelatihan:

1. Need Assesment

Analisis kebutuhan, itulah yang seharusnya didahulukan ketika memulai pelatihan. Sebenarnya kebutuhan apa yang mendesak untuk dikaji, untuk dijawab oleh IRM Daerah Jogja. Jangan sampai PD IRM Kota Yogyakarta membuat materi yang begitu rumit, njlimet, tinggi dan lainnya akan tetapi tidak bisa diterima oleh peserta.

Dengan hal ini diharapkan dalam pelatihan bukan teori top down yang digunakan, dalam arti semua materi dan alur berasal dari fasilitator atau PD IRM secara umum, akan tetapi lebih pada bootom up, artinya apa yang dibutuhkan kader dan apa yang menjadi permasalahan di ranting itulah yang menjadi dasar atau latar belakang pelatihan. Jangan sampai pelatihan diadakan hanya sebagai proyek program kerja - agar tidak digugat oleh ranting ketika musyda - sehingga pelatihan tanpa orientasi, yang penting terlaksana, dan entah hasilnya apa.

Need assesment inilah yang menjadi dasar materi apasaja yang akan dibahas ketika teruna melati dan berapa waktu yang dibutuhkan nantinya.

2. Target dan Out put pelatihan

Setelah kita mengetahui apa yang dibutuhkan oleh basis baru kita mencari target dari pelatihan tersebut, jangan sampai pelatihan kader taruna melati tidak mempunyai targetan yang jelas. Kalau seperti itu tidak ada bedanya dengan orang yang berjalan tanpa tujuan, padahal organisasi IRM adalah organisasi yang mempunyai cita-cita dan daftar keinginan yang jelas. Selain itu jika tidak ada targetan dalam sebuah pelatihan, maka perjalanan pelatihan akan berjalan kemana-mana, tidak jelas dan tidak terarah.

Setelah itu, output apa yang akan dihasilkan oleh pelatihan. Output disini diartikan sebagai hasil konkrit apa yang bisa dihasilkan oleh pelatihan ini, dalam bahasa anak muda adalah oleh-oleh apa yang bisa dibawa dari pelatihan. Bukan berarti pelatihan ini berorientasi hasil tanpa memikirkan proses. Proses itu penting tapi jangan sampai kita lupa pada hasil. Juga jangan dipahami bahwa out put diartikan munculnya orang yang langsung bisa menjadi ketua IRM, tidak. Oleh-oleh disini diartikan sebagai strategi apa yang akan digunakan untuk menjawab semua masalah yang dihadapi yang sesuai dengan keadaan daerah Kota Yogyakarta.

Sebagai contoh kita mempunyai strategi gerakan, seperti gerakan sekolah kader, parlemen, remaja, dan iqro’. Gerakan tersebut sangatlah umum karena itu dibentuk untuk menjawab seluruh permasalahan di Indonesia, dipelatihan inilah dapat dirumuskan strategi apa yang akan digunakan, mengambil salah satu, atau menelurkan strategi baru untuk berjuang.

3. Penyusunan alur dan materi pelatihan

Kita sudah memegang latar belakang dan orientasi pelatihan kita. Jika diibaratkan orang bepergian kita sudah mempunyai bekal mengapa kita pergi, berapa uang yang dimiliki serta tujuan mau kemana. Setelah itu baru kita berpikir kendaraan apa yang kita gunakan untuk pergi ketujuan tersebut, mobil, motor, atau pesawat dll, serta lewat jalan yang mana kita pergi menuju tujuan. Jalan itulah alur dan kendaraan adalah materi pelatihan tersebut.

Ketika sebuah pelatihan tidak beralur, maka jalannya pelatihan akan mengalir lepas seperti mengalirnya air sungai, walhasil tidak mencapai tempat yang diinginkan.

4. Penyusunan teknis pelatihan

Setelah semua konsep selesai baru kita merumuskan teknis pelatihan mulai dari pembukaan sampai terkahir acara. Mulai dari konsumsi sampai perlengkapan, mulai dari menghubungi pembicara sampai mencari dana. Semuanya dibentuk setelah konsep selesai sehingga panitia dapat bekerja dengan jalur yang jelas.

Setelah konsep materi dan konsep teknis acara selesai maka tinggalah memasuki acara pelatihan. Tidak begitu rumit ketika memasuki acara inti, mengapa karena sebenarnya PD IRM Kota Yogyakarta sudah berpengalaman dalam hal mengelola acara. Tetapi ada satu hal yang perlu diperhatikan, job deskripsi harus jelas dan dikawal dan dijaga selalu. Boleh untuk membantu teman dalam melaksanakan jobnya tetapi setelah job yang bersangkutan selesai.

Pelatihan hanyalah formalitas untuk membuat tim yang akan kita ikutkan dalam peperangan. Maka tidak berarti setelah pelatihan selesai sudah. Akan tetapi perlu adanya tindak lanjut dari sebuah pelatihan.

Ada beberapa catatan dalam follow up tersebut :

  1. Tidak terlepas dari need assesment yang telah dianalisa awalnya. Artinya ketika tim fasilitator merumuskan materi – materi follow up tidak bisa terlepas dari need assesment yang sudah dijadikan landasan pelatihan. Sekali lagi jangan sampai fasilitator terlalu egois untuk menentukan materi yang menurut tim fasilitator cocok.
  2. Mengacu pada target pelatihan awalnya. Target pelatihan juga menjadi target dari follow up, karena follow up tidak bisa dilepaskan dari pelatihan itu sendiri, sehingga jangan sampai pelatihan memiliki orientasi sendiri, follow up juga mempunyai orientasi sendiri. Tapi jangan dipahami target pelatihan harus sama 100% dengan follow up, perlu adanya inovasi target yang tetap mengacu pada permasalahan.

Catatan ada perbedaan signifikan antara pelatihan dan follow up. Kalau pelatihan lebih pada tatanan konsep dan contoh yang abstrak, maka follow up lebih ditekankan pada dataran praksis dan real dalam realitas sosial.

Akhirnya lengkaplah semua bekal bagi IRM untuk berperang. Prajurit yang banyak dan tangguh serta mampu mengoperasionalkan senjata secara proposional, ditambah strategi yang jitu yang dipahami oleh seluruh prajurit, disertai dana yang memadai dan tentunya dengan Pimpinan yang sehat maka dapat dipastikan perjuangan IRM akan lurus, walaupun tetap ada masalah yang akan dihadapi.

Semua komponen berperan dalam memajukan IRM di Kota Yogyakarta. Pelatihan yang bagus menjadi titik awal bagi majunya perjuangan IRM.

Tidak ada komentar: